Teknik Pengendali Dan Pengaman Banjir

Teknik pengendalian banjir merupakan salah satu dari strategi pengendalian banjir dalam pengaturan debit banjir yang dilakukan melalui kegiatan pembangunan prasarana pengendalian atau pengamanan banjir seperti tanggul banjir dan dinding penahan banjir, perbaikan dan pengaturan alur sungai, pembagi atau pelimpah banjir, bendungan dan waduk banjir, palung sungai, sistem drainasi pembuang, daerah retensi banjir, dan sistem polder.


Teknik Pengendali Dan Pengaman Banjir




A.Bangunan Prasarana Pengendali Banjir
Penjelasan dari masing-masing bangunan prasarana pengendali banjir diuraikan sebagai berikut :

1. Tanggul Dan Dinding Penahan Banjir
    Tanggul dan tembok banjir adalah penghalang sepanjang alur sungai yang direncanakan untuk
    menahan air banjir dalam alur sungai yang ada dan menghindari tumpahan keatas tanah rendah              yang  berdekatan. Tanggul dan tembok banjir berfungsi untuk melindungi fasilitas-fasilitas pada
    dataran banjir termasuk pemukiman, pengembangan industri dan pertanian.

    Tanggul biasanya dibangun dari bahan tanah, sementara tembok banjir dibuat dari beton, pasangan          batu dan baja. Tanggul dan tembok banjir sering merupakan bangunan pengendali banjir yang              paling ekonomis, jika tempat dataran banjir sukup jauh dari alur sungai, memungkinkan regim
    sungai akan mendekati alami.

    Tanggul atau tembok banjir menjadi cara pengendalian yang efektif dengan bangunan yang   
     memadai dalam keadaan berikut :
     a. Pada sungai yang besar dimana terdapat dataran banjir yang lebar dengan sedikit atau tanpa     
         permukiman atau pengembangan industri di dekat sungai,
     b. Pada suatu daerah atau wilayah perlu perlindungan lokal,
     c. Pada daerah pantai dimana banjir dipengaruh air pasang.


2. Perbaikan dan Pengaturan Alur Sungai
    Pekerjaan perbaikan dan pengatuaran alur sungai dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas                 angkut dari alur alami, atau memungkinkan elevasi air banjir lebih rendah daripada yang terjadi          alami.
    Pekerjaan perbaikan dan pengaturan alur sungai menyangkut hal berikut ini :
    a. Pendalaman dan atau pelebaran alur (termasuk pengerukan),
    b. Mengurangi kekasaran alur,
    c. Pelurusan atau pemendekan alur (sudetan),
    d. Mengatur pola aliran,
    e. Pengendalian erosi,
    f. Pengerukan.


3. Pengelak Banjir
    Pengelak banjir adalah pembuatan suatu saluran yang berfungi untuk membelokan sebagian atau            keseluruhan aliran sungai (membagi debit) untuk dialirkan dalam suatu saluran yang menjauhi            kota. Pengalihan aliran ini dapat dikembalikan lagi di sungai induk di hilir kota, dialirkan
    langsung ke laut atau dipindahkan kealiran sungai tetangganya yang masih dapat menampung.

    Bangunan ini sering berpintu dan ditempatkan sebagai berikut :
    a. Jika dasar sungai alam lebih rendah atau pada elevasi yang sama dengan dasar saluran pengelak,
        bangunan pengendali berpintu sering ditempatkan pada alur sungai alami dihilir pintu masuk   
        saluran. Dengan demikian air bisa dibelokan ke alur alami selama periode aliran rendah untuk               memenuhi kebutuhan air dibagian hilir.
     b.Jika alur pengelak pada elevasi yang lebih rendah dari dasar sungai alami bangunan berpintu   
        (misalnya bendung pelimpah) kadang-kadang ditempatkan pada pintu masuk saluran, dan     
        direncanakan untuk membelokan dari sistem sungai sejumlah debit yang bisa dikontrol.


4. Waduk Pengendali Banjir (Flood Control Reservoir)
     Waduk pengendali banjir adalah bangunan yang berfungsi menahan semua atau sebagian air       
     banjir dalam tampunganya dan mengalirkan sesuai dengan kapasitas sungai. Sistem spillway     
     umumnya dibangun sebagai bagian dari waduk, dimana berfungsi untuk melepaskan bagian
     banjir yang tidak bisa ditampung. Tampungan puncak banjir dalam waduk akan mengurangi debit          dan elevasi muka air banjir dibagian hilir waduk.

     Tingkat perlindungan banjir dari waduk ini tergantung dari hubungan beberapa faktor yaitu   
      karakteristik puncak banjir, kapasitas tampungan dan operasi bangunan outlet spillway. Waduk
     yang lebih besar mampu untuk menampung seluruh volume banjir, yang dapat disimpan untuk
      kegunaan di masa yang akan datang secara terkendali.Waduk yang lebih kecil hanya bisa
     menampung sebagian volume banjir, tetapi dapat meredam puncak inflow, sehingga terjadi   
     pengurangan outflow melewati spillway.

     Dalam beberapa kasus spillway berpintu atau bangunan outlet memungkinkan operator untuk
     menurunkan muka air waduk sebelum terjadinya banjir, sehingga tersedia kapasitas tampungan                tambahan untuk menampung banjir (misalnya: Dam Sutami dan Wonogiri).
     Peramalan dan pemantauan banjir yang andal adalah perlu untuk mendapatkan keuntungan penuh
     dari tampungan banjir yang tersedia, baik di bawah dan di atas elevasi muka air waduk pada     
     keadaan beroperasi penuh.


5. Waduk Retensi
    Waduk retensi digunakan untuk menampung dan menahan sebagian atau semua air banjir dihulu 
    wilayah yang rawan banjir, tampungan bersifat sementara dan berpengaruh mengurangi laju aliran          dan tinggi muka air banjir dibagian hilir daerah pengaliran sungai.

    Seperti waduk-waduk yang lain, tingkat pengurangan banjir tergantung pada karakteristik   
    hidrograf banjir, tersedianya volume tampungan, dan dinamika tiap bangunan yang berkaitan   
    dengan waduk pengendali banjir serta bangunan outlet. endung urugan ketiggian rendah atau
    bendung pengelak kadang-kadang dibangun melintang alur air untuk membelokan aliran ke
    waduk retensi.

     Spillway dan fasilitas outlet yang memadai disediakan untuk melindungi bendungan dari
     overtoping dan untuk pengendalian debit dari waduk, dalam beberapa kasus air dibelokan ke   
     tanah pertanian yang lebih rendah dibelakang tanggul, outflow bisa dikontrol dengan
     bangunan berpintu yang digabung dengan tanggul.

     Waduk retensi sering sangat sesuai untuk aliran banjir bandang (banjir besar yang datang secara
     tiba-tiba), umumnya memerlukan lahan yang relatif luas berdekakatan dengan sungai dan harus
     mempunyai volume tampungan yang memadai untuk menampung puncak banjir yang masuk.
     Lokasi yang cocok untuk waduk retensi biasanya di dataran rendah,  termasuk rawa-rawa dan
     daerah pertanian.


6. Sistem Drainase Pembuang
    Sistem drainase pembuang berfungsi untuk memindahkan air dari suatu daerah rawan banjir akibat          drainase alam yang kurang bagus atau adanya gangguan manusia.

    Sistem drainase ini berfungsi untuk memindahkan air dari daerah rawan banjir akibat drainase   
    alam yang jelek atau gangguan manusia. Drainase sistem grafitasi bisa terdiri dari alur terbuka
    atau pipa terpendam yang outletnya ke alur air alam.

    Sebagai tambahan pompa diperlukan jika tinggi muka air dalam alur penerima air terlalu tinggi   
    atau terpengaruh oleh fluktuasi yang disebabkan oleh banjir atau air pasang. Bangunan outlet
    dari sistem darainase pembuang ini bisa terdiri dari bangunan outlet dengan sistem grafitasi atau                pompa.

7. Sistem Polder
    Sistem Polder adalah suatu sistem dalam pembuangan air banjir disuatu daerah yang tidak dapat   
    mengalirkan secara grafitasi ke alur sungai atau langsung ke laut dikarenakan pengaruh air pasang.

    Dengan adanya tanggul di kiri dan kanan sungai maka daerah rendah sepanjang sungai tidak dapat
    mengalirkan airnya secara grafitasi ke sungai tersebut, dengan demikian daerah-daerah ini akan
    merupakan daerah tertutup yang disebut dengan istilah polder.

    Drainase didalam daerah Polder ini harus dilakukan dengan menampung di dalam waduk dan   
    selanjutnya   dilakukan pembuang dengan memompa atau menunggu surutnya muka air sungai
    atau laut.


B. Pemilihan Alternatif Penanganan Banjir

Pemilihan alternatif dalam penanganan banjir merupakan suatu sistem yang harus di laksanakan.
Untuk itu ada beberapa tahapan yang harus di lalui yaitu melaksanakan survey, pengolahan serta analisa data. Pemilihan alternatif dalam penanganan banjir dapat dilihat pada diagram berikut ini.


Bagan Pengendali Banjir


Demikianlah penjelasan singkat dari Teknik Pengendali Dan Pengaman Banjir. Semoga bermanfaat dan Terimah kasih.

Baca Artikel...

Skema Sistem Jaringan Irigasi

Sarana dan prasarana irigasi merupakan salah satu unsur sarana produksi dalam panca usaha tani dimana sarana dan prasarana tersebut sangat dibutuhkan oleh petani guna menunjang upaya peningkatan produksi pertanian.

Jaringan irigasi merupakan salah satu prasarana irigasi yang terdiri dari atas bangunan dan saluran air beserta pelengkapnya (Kartasaputra 1991). Jaringan irigasi menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2006 adalah saluran, bangunan dan bangunan pelengkapnya yang merupakan satu kesatuan yang diperlukan untuk penyediaan, pembagian, pemberian, penggunaan dan pembuangan air irigasi.

Skema Sistem Jaringan Irigasi


Skema sistem jaringan irigasi dibuat untuk menjelaskan bagan jaringan layanan yang direncanakan didalam lingkup Daerah Irigasi (DI). Pembagian daerah layanan dalam skema sistem jaringan utama irigasi dilakukan hingga pada tingkat blok tersier yang akan dilayani secara langsung oleh jaringan saluran primer dan saluran sekunder.

Bedasarkan fungsi saluran maka jaringan irigasi dibagi menjadi 3 (tiga) jaringan yaitu :
1. Jaringan Irigasi Primer yaitu bagian dari jaringan irigasi yang terdiri atas bangunan utama,
    saluran induk/primer, saluran pembuang, bangunan bagi, bangunan bagi sadap dan bangunan
    pelengkap.
2. Jaringan Irigasi Sekunder merupakan bagian dari jaringan irigasi yang terdiri dari
    saluran sekunder, saluran pembuang, bangunan bagi, bangunan bagi sadap dan bangunan   
    pelengkapnya.
3. Jaringan Irigasi Tersieri bagian dari jaringan irigasi yang berfungsi sebagai prasarana pelayanan   
    irigasi dalam petak tersier yang terdiri atas saluran tersier, saluran kuater dan saluran pembuang,
    box tersier, box kuater serta bangunan pelengkapnya.

Pemberian nama jaringan saluran irigasi primer sebaiknya diberi nama sesuai dengan daerah irigasi yang dilayani. Begitu juga untuk saluran sekunder diberi nama sesuai dengan nama desa yang terletak di petak sekunder. Petak sekunder akan diberi nama sesuai dengan nama saluran sekundernya.

Skema sistem jaringan irigasi dibuat menjadi 1 (satu) bagian. Untuk penamaan petak tersier dilakukan bedasarkan jaringan saluran layanan. Dengan nomor urut dimulai dari hulu ke hilir. Penamaan Nomen klatur petak tersier dilengkapi dengan posisi petak tersier yang berada di sisi kiri atau sisi kanan. Salah satu contoh untuk penamaan petak tersier yaitu :

Penamaan Petak Saluran Tersier


Skema Bangunan

Untuk penamaan skema bangunan dibuat harus menjelaskan bagan, jenis bangunan, serta nomenklatur bangunan yang direncanakan. Untuk gambar skema bangunan harus dijelaskan posisi  atau jarak langsung bangunan dari titik awal stasiun. Penamaan nomenklatur bangunan dilakukan bedasarkan jaringan saluran layanan, dengan nomor urut dimulai dari arah hulu ke hilir.

Penamaan Bangunan Jaringan Irigasi




Didalam suatu sistem jaringan irigasi dapat dibedahkan adanya empat unsur fungsional pokok yaitu
Bangunan Utama, Jaringan Pembawa, Petak Tersier dan Sistem Pembuang.

Bangunan Utama

Bangunan utama merupakan komplek bangunan yang direncanakan melintang pada sungai atau aliran sungai untuk membelokan air kedalam jaringan saluran agar dapat dipakai untuk berbagai keperluan. Komplek yang ada di dalam bangnan utama meliputi Bangunan bendung, Bangunan pengambilan, Bangunan pembilas (penguras), Kantong lumpur, Perkuatan sungai dan Bangunan-bangunan pelengkap.

Bangunan pengambilan (intake) berfungsi untuk memblokir air dari sungai ke saluran dalam jumlah yang telah ditentukan. Bangunan ini dilengkapi dengan pintu (gate) dan bagian depanya terbuka untuk menjaga bila terjadi muka air tinggi selama banjir.

Kantong lumpur merupakan bangunan pelengkap atau bagian dari bangunan utama yang berfungsi untuk mengelakan angkutan sedimen dasar dan fraksi pasir yang lebih besar agar tidak masuk ke jaringan irigasi.

Jaringan Pembawa

Jaringan pembawa terdiri dari jaringan utama dan jaringan tersier. Jaringan saluran utama terdiri dari saluran primer dan saluran sekunder. Sedangkan jaringan tersier terdiri dari atas saluran serta saluran kuarter di petak tersier. Dalam saluran tersebut dilengkapi dengan saluran pembagi, bangunan sadap tersier, bangunan bagi sadap dan bok–bok tersier. Dalam saluran primer atau sekunder dilengkapi dengan bangunan pengatur muka dan pada saluran pembawa dengan aliran super kritis dilengkapi bangunan terjun, got miring. Pada saluran pembawa sub kritis dilengkapi dengan bangunan talang, sipon, jembatan sipon, bangunan pelimpah, bangunan penguras, saluran pembuang samping dan jalan jembatan

Petak Irigasi 

1. Petak primer, terdiri dari beberapa petak sekunder yang airnya mengambil dari sumber air
    (sungai) berupa bendung, bendungan, rumah pompa, dll. Bila satu bendung terdapat dua pintu
    (intake) kiri dan kanan, maka terdapat dua petak primer.
2. Petak sekunder, terdiri dari kumpulan petak-petak tersier yang mengambil air dari satu pintu di 
    bangunan bagi. Luas petak sekunder ini tidak terbatas tergantung dari topografi lahan yang ada.   
    Salurannya sering terletak di punggung medan, sehingga air tersebut dapat dialirkan ke dua sisi
    saluran.
3. Petak tersier, suatu lahan seluas maksimum 60 ha, yang berisikan petak-petak kuarter yang
    luasnya maksimum 10 ha, yang mengambil air dari satu pintu bangunan sadap. Petak tersier ini   
    dilengkapi pula dengan boks-boks tersier, kuarter, saluran pembawa tersier, kuarter, cacing,
    saluran pembuang, serta bangunan silang seperti yang ada di jaringan irigasi.

Jaringan irigasi menurut kelengkapan bangunannya dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu :
1. Jaringan Irigasi sederhana, yaitu suatu sistem jaringan irigasi yang diusahakan secara mandiri     
    oleh suatu kelompok petani pemakai air, sehingga kelengkapan maupun kemampuan dalam
    mengukur dan mengatur masih sangat terbatas. Jaringan irigasi sederhana sangat mudah
    diorganisasikan karena menyangkut pemakai air yang belatar belakang sosial sama. Sedangkan 
    kelemahan dari jaringan irigasi sederhana yaitu terjadinya pemborosan air karena banyak air
    yang terbuang. Aur yang didistribusikan tidak selalu mencapai lahan sawah.

2. Jaringan Irigasi   semi   teknis, bangunan   utama/bendung   yang terletak  di  sungai  dilengkapi 
    dengan  pintu  pengambilan dan bangunan ukur, dan kadang-kadang dilengkapi pula dengan
    bangunan permanen pada jaringan irigasinya.

3. Jaringan Irigasi   teknis,  jaringan  irigasi  ini  terdapat  pemisahan antara saluran pembawa dan   
    pembuang, setiap bangunan pembagi dan bangunan sadap selalu dilengkapi dengan alat ukur       
    debit. Pengukuran dan pengaturan dilakukan dari bangunan sadap sampai ke petak tersier.

Saluran primer membawa air dari bendung ke saluran sekunder dan ke petak-petak tersier yang diairi. Batas ujung saluran primer adalah pada bangunan bagi yang terakhir.

Saluran sekunder membawa air dari saluran primer ke petak-petak tersier yang dilayani oleh saluran sekunder tersebut. Batas ujung saluran ini adalah pada bangunan sadap terakhir. Saluran sekunder merupakan cabang dari saluran induk, atau dapat juga cabang dari saluran sekunder lainnya.

Demikianlah penjelasan tentang skema sistem jaringan irigasi semoga bermanfaat, terimah kasih.
Baca Artikel...

Jenis Dan Struktur Jembatan

Jembatan secara umum dapat diartikan suatu konstruksi bangunan  dimana fungsinya untuk menghubungkan dua bagian yang terpisah oleh adanya alur sungai, kali, danau, saluran irigasi, lembah yang dalam, jalan kereta api dan jalan raya yang melintang.

Jenis Dan Struktur Jembatan





1. JENIS JEMBATAN
    Jenis jembatan dapat dibagi berdasarkan fungsi, lokasi, bahan konstruksi dan tipe struktur, yaitu :

    a. Berdasarkan fungsinya, jembatan dapat dibedakan sebagai berikut :
       1.Jembatan jalan raya (highway bridge)
       2.Jembatan jalan kereta api (railway bridge)
       3.Jembatan pejalan kaki atau penyeberangan (pedestrian bridge).

    b. Berdasarkan lokasi, jembatan dapat dibedakan sebagai berikut :
       1.Jembatan di atas sungai atau danau,
       2.Jembatan di atas lembah,
       3.Jembatan di atas jalan yang ada (fly over),
       4.Jembatan di atas saluran irigasi/drainase (culvert),
       5.Jembatan di dermaga (jetty).

    c. Berdasarkan bahan konstruksi, jembatan dapat dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain :
       1.Jembatan kayu (log bridge),
       2.Jembatan beton (concrete bridge),
       3.Jembatan beton prategang (prestressed concrete bridge),
       4.Jembatan baja (steel bridge),
       5.Jembatan komposit (compossite bridge), gabungan dua jenis material, yaitu baja dan
          beton  secara bersama-sama memikul lentur dan geser.


Jembatan Rangka Baja

Jembatan rangka baja adalah jembatan yang menggunakan rangka batang baja sebagai konstruksi utamanya. Berdasarkan tipe struktur, khusus jembatan baja dapat dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain :

1. Jembatan gelagar I (rolled steel girder bridge), tersusun dari beberapa gelagar I canai panas,
    panjang bentang berkisar 10 meter sampai dengan 30 meter. Jembatan gelagar ini dapat bersifat   
     komposit atau non komposit, tergantung penggunaan penghubung geser (shear connector),
    juga tergantung kepada penggunaan bahan untuk lantai jembatan misal dari kayu (jembatan
    konvensional) atau beton.

2. Jembatan gelagar pelat (plate girder bridge), atau sering juga disebut jembatan dinding penuh,
    tersusun dari 2 (dua) atau lebih gelagar, yang terbuat dari pelat-pelat baja dan baja siku yang
    diikat dengan paku keling atau di las. Panjang bentang berkisar 30 meter sampai dengan 90 meter.

3. Jembatan gelagar kotak (box girder bridge), terbuat dari pelat-pelat berbentuk kotak empat persegi
    atau berbentuk trapesium, umumnya digunakan dengan panjang bentang 30 meter sampai dengan        60 meter. Jembatan gelagar kotak (box girder bridge) dapat terdiri dari gelagar kotak tunggal
    maupun tersusun dari beberapa gelagar.

4. Jembatan rangka (truss bridge), tersusun dari batang-batang yang dihubungkan satu sama lain              dengan pelat buhul, dengan pengikat paku keling, baut atau las. Batang-batang rangka ini hanya
    memikul gaya dalam aksial (normal) tekan atau tarik, tidak seperti pada jembatan gelagar yang            memikul gaya-gaya dalam momen lentur dan gaya lintang.

Tipe-tipe jembatan rangka seperti terlihat dalam gambar berikut:


Tipe-Tipe Jembatan Rangka


5. Jembatan Pelengkung (Arch Bridge)
6. Jembatan Gantung (Suspension Bridge)
7. Jembatan Struktur Kabel (Cable Stayed Bridge)

Poto dari Jembatan Pelengkung dan jembatan struktur kabel dapat dilihat dibawah ini.

Jembatan Musi II Palembang - Sumatera Selatan

Jembatan Musi IV Palembang - Sumatera Selatan









2. STRUKTUR JEMBATAN
    Secara umum struktur jembatan terbagi menjadi 3 (tiga) bagian utama yaitu .
    a. Struktur Atas (Superstructures)
    b. Struktur Bawah (Substructures) dan
    c. Pondasi.

     A. Struktur Atas.
          Struktur atas jembatan merupakan bagian yang menerima beban langsung yang meliputi berat            sendiri, beban mati,  beban mati tambahan, beban lalu-lintas kendaraan, gaya rem, beban
          pejalan kaki, dll.
          Struktur Atas Jembatan antara lain :
          1. Trotoar :
               a.Sandaran dan tiang sandaran
               b.Peninggian trotoar (Kerb)
               c.Slab lantai trotoar
          2. Slab lantai kendaraan
          3. Gelagar (Girder)
          4. Balok diafragma
          5. Ikatan pengaku (ikatan angin, ikatan melintang)
          6. Tumpuan (Bearing)


    B. Struktur Bawah.
         Struktur bawah jembatan berfungsi memikul seluruh beban struktur atas dan beban lain yang               ditimbulkan oleh tekanan tanah,   aliran air dan hanyutan, tumbukan, gesekan pada tumpuan   
         untuk kemudian disalurkan ke fondasi. Selanjutnya beban-beban tersebut disalurkan oleh
         fondasi ke tanah dasar.
         Struktur bawah jembatan umumnya meliuputi :
         1. Pangkal Jembatan (Abutment)
            a. Dinding belakang (Back wall)
            b. Dinding penahan (Breast wall)
            c. Dinding sayap (Wing wall)
            d. Oprit, plat injak (Approach slab)
            e. Konsol pendek untuk jacking (Corbel)
            f. Tumpuan (Bearing)

         2. Pilar Jembatan (Pier)
             a.Kepala pilar (Pier Head)
             b.Pilar (Pier), yg berupa dinding, kolom, atau portal,
             c.Konsol pendek untuk jacking (Corbel)
             d.Tumpuan (Bearing)

     C. Pondasi
           Pondasi jembatan berfungsi meneruskan seluruh beban jembatan ke tanah dasar.
           Berdasarkan sistimnya, pondasi Abutment atau Pier jembatan dapat dibedakan menjadi   
           beberapa macam jenis, antara lain :
           1. Pondasi telapak (spread footing)
           2. Pondasi sumuran (caisson)
           3. Pondasi tiang (pile foundation)
               a.Tiang pancang kayu (Log Pile)
               b.Tiang pancang baja (Steel Pile)
               c.Tiang pancang beton (Reinforced Concrete Pile)
               d.Tiang pancang beton prategang pracetak (Precast Prestressed Concrete Pile), spun pile,
               e.Tiang beton cetak di tempat (Concrete Cast in Place), borepile, franky pile.
               f.Tiang pancang komposit (Compossite Pile)

Demikianlah penjelasan singkat tentang jenis dan struktur jembatan, semoga bermanfaat terimah kasih.
Baca Artikel...

Struktur Lapisan Perkerasan Lentur

Lapisan Perkerasan Lentur merupakan konstruksi perkerasan jalan dimana bahan campuran terdiri atas campuran aspal dengan agregat yang mempunyai ukuran butir tertentu sehingga memiliki kepadatan dan kekuatan tertentu. Struktur dari lapisan perkerasan jalan berfungsi untuk menerima beban lalu lintas dan menyebarkannya kelapisan di bawahnya terus ke tanah dasar.


Struktur Lapisan Perkerasan Lentur (Felxible Favement)



Typical struktur Lapisan perkerasan lentur (Flexible Pavement) terdiri atas :
1. Lapisan Tanah Dasar ( Sub Grade)
2. Lapisan Pondasi Bawah (Subbase Course)
3. Lapisan Pondasi Atas (base course)
4. Lapisan Permukaan (surface course)

Penjelasan dari masing-masing typical struktur lapisan perkerasan Lentur (flexible pavement) sebagai berikut :

1. Lapisan Tanah Dasar (sub grade)
    Lapisan tanah dasar (sub grade) adalah lapisan tanah yang berfungsi sebagai tempat
    perletakan bagian-bagian lapis perkerasan dan mendukung konstruksi perkerasan jalan diatasnya.
    Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung dari sifat- sifat dan
    daya dukung tanah dasar.

Umumnya persoalan yang menyangkut tanah dasar adalah sebagai berikut:
a. Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) dari macam tanah tertentu akibat beban lalu lintas.
b. Sifat mengembang dan menyusut dari tanah tertentu akibat adanya perubahan kadar air.
c. Daya dukung tanah yang tidak merata dan sukar ditentukan secara pasti pada daerah
   dengan  macam tanah yang sangat berbeda sifat dan kedudukannya, atau akibat pelaksanaan.


2. Lapisan Pondasi Bawah (sub base course)
    Lapisan Pondasi Bawah (sub base course)adalah bagian perkerasan yang terletak antara
    lapis pondasi dan tanah dasar.
    Fungsi dari lapis pondasi bawah yaitu:
    a. Sebagai bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung dan menyebarkan beban roda
        ke  tanah dasar.
    b. Mencapai efisiensi penggunaan material yang relatif murah agar lapisan-lapisan selebihnya
        dapat dikurangi tebalnya (penghematan biaya konstruksi).
    c. Sebagai lapis peresapan agar air tanah tidak berkumpul di pondasi.
    d. Untuk mencegah partikel-partikel halus dari tanah dasar masuk ke dalam lapis pondasi atas.
    e. Sebagai lapis pertama atau pelindung lapisan tanah dasar dari beban roda alat berat agar
        awal  pelaksanaan pekerjaan dapat berjalan lancar.

Hal ini sehubungan dengan terlalu lemahnya daya dukung tanah dasar terhadap roda-roda alat-alat besar atau karena kondisi lapangan yang memaksa harus segera menutup tanah dasar dari pengaruh cuaca.


3. Lapisan Pondasi Atas (base course)
    Lapisan Pondasi Atas (sub base course) merupakan bagian perkerasan yang terletak diantara
    lapisan permukaan (Surfecd Course) dengan lapisan pondasi bawah (sub base course).
    Fungsi dari lapis pondasi Atas (base course) yaitu:
    a. Sebagai perkerasan yang menahan gaya lintang dari beban roda dan menyebarkan beban
        ke lapisan dibawahnya.
    b. Sebagai perletakan untuk lapisan permukaan (Surfece Course).

Bahan-bahan yang digunakan untuk lapisan pondasi atas harus kuat dan awet sehingga dapat menahan beban-beban roda kendaraan. Selain itu bahan yang di gunakan untuk bahan lapisan pondasi atas harus diuji sesuai dengan Spesifikasi Teknis.


4. Lapisan Permukaan (Surfece course)
    Lapis permukaan (Surfece course) merupakan bagian perkerasan yang berada paling atas serta
    bagian perkerasan yang bersentuhan langsung dengan beban roda kendaraan.
    Fungsi dari lapis permukaan (Surfece course) yaitu:
    a. Sebagai bahan perkerasan untuk menahan beban roda
    b. Sebagai lapisan rapat air untuk melindungi badan jalan kerusakan akibat cuaca.
    c. Sebagai lapisan penutup atau lapisan aus (wearing course).

    Fungsi lapis aus ini adalah sebagai lapisan pelindung bagi lapis permukaan untuk
    mencegah  masuknya air dan untuk memberikankekesatan (skid resistance) permukaan jalan

Penggunaan bahan untuk lapisan permukaan harus dengan persyaratan yang lebih tinggi. Bahan ntuk lapis permukaan umumnya adalah sama dengan bahan untuk lapis pondasi, dengan persyaratan yang lebih tinggi. Penggunaan bahan aspal diperlukan agar lapisan dapat bersifat kedap air, disamping itu bahan aspal sendiri memberikan bantuan tegangan tarik, yang berarti mempertinggi daya dukung apisan terhadap beban roda lalu lintas. Pemilihan bahan untuk lapis permukaan perlu ipertimbangkan kegunaan, umur rencana serta pentahapan konstruksi, agar dicapai manfaat yang sebesar-besarnya dari biaya yang dikeluarkan.

Demikinalah penjelasan tentang Struktur Lapisan Perkerasan Lentur semoga bermanfaat, terimah kasih.

Baca Artikel...

Penentuan Klasifikasi Tanah Dengan Pengujian Laboratorium

Tanah menurut Braja M. Das didefinisikan sebagai material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral-mineral padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain dan dari bahan-bahan organik yang telah melapuk yang berpartikel padat) disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang - ruang kosong di antara partikel-partikel padat tersebut.

Tanah berfungsi sebagai pendukung pondasi dari bangunan juga sebagai bahan bangunan itu sendiri contoh batu bata. Oleh karena itu diperlukan tanah dengan kondisi kuat untuk menahan beban di atasnya dan menyebarkannya secara merata.

Penentuan Klasifikasi Tanah Dengan Pengujian Laboratorium


A. SIFAT FISIK TANAH 

Sifat-sifat fisik dari tanah berhubungan erat dengan kelayakan penggunaan tanah, seperti kekuatan daya dukung, kapasitas penyimpanan air dan plastisitas. Hal ini berlaku bilamana tanah digunakan sebagai bahan struktural untuk pembangunan konstruksi jalan raya, bangunan bendungan, pondasi untuk sebuah gedung serta untuk sistem pembuangan limbah.

Untuk mengetahui sifat-sifat fisik dari tanah, ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan yaitu :
1. Kadar Air
    Kadar Air tanah yaitu perbandingan antara berat air yang terkandung di dalam tanah dengan
    berat kering tanah (satuan persen).

2. Berat Jenis
    Sifat fisik tanah dapat ditentukan dengan mengetahui berat jenis tanahnya dengan cara
    menentukan berat jenis yang lolos saringan No. 200

3. Batas-Batas Atterberg
    Batas Atterberg adalah batas konsistensi dimana keadaan tanah melewati keadaan lainnya dan
    terdiri atas batas cair, batas plastis dan indek plastisitas

a. Batas Cair (liquid limit)
    Batas cair adalah kadar air minimum dimana tanah tidak mendapat gangguan dari luar.
   (Scott.C.R, 1994). Sifat fisik tanah dapat ditentukan dengan mengetahui batas cair suatu tanah,            tujuannya adalah untuk menentukan kadar air suatu jenis tanah pada batas antara keadaan plastis
    dan keadaan cair.

b. Batas Plastis (Plastic Limit)
    Batas plastis adalah kadar air minimum dimana tanah dapat dibentuk secara plastis, maksudnya
    tanah dapat digulung-gulung sepanjang 3 mm.
   Tujuannya adalah untuk menentukan kadar air suatu jenis tanah pada keadaan batas antara
    keadaan  plastis dan keadaan semi padat.
    Cara kerja batas-batas Atterberg menggunakan standar ASTM D-4318, yaitu :
    1. Nilai batas plastis (PL) adalah kadar air rata-rata dari ketiga benda uji.
    2. Plastis Indek (PI) dengan rumus PI = LL – PL.

4. Analisa Saringan
    Tujuan dari analisis saringan adalah untuk mengetahui persentasi butiran tanah.
    Caranya dapat dilakukan dengan pengayakan, setelah itu material organik dibersihkan dari sampel       tanah, lalu berat sampel tanah yang tertahan di setiap ayakan dicatat.
    Tujuan akhir dari analisanya adalah memberikan nama dan mengklasifikasikannya,
    sehingga dapat  diketahui sifat-sifatnya.


B. PENGELOHAN DATA DAN ANALISA MEKANIKA TANAH

   Penentuan klasifikasi tanah didasarkan dari semua jenis pengujian yang dilakukan baik di lapangan
   Sondir maupun dari sampel tanah hasil Boring yang dilakukan pengujian di laboratorium Mekanika
   Tanah serta sampel tanah :

   1. Sondir
       Berdasarkan data nilai conus hasil pengujian Sondir dapat diketahui karakteristik tanah yang
       berupa kondisi kepadatannya berdasarkan Meyerhof.
       Sondir yang dilaksanakan sampai dengan tanah keras dengan tekanan conus 150 kg /cm2, atau
       maksimum sampai kedalaman 25 m , sebanyak 10 titik.

   2. Borring
       Tujuan utama dari pembuatan lobang bor adalah untuk mengetahui lebih jelas tentang susunan
       lapisan tanah yang ada dan berapa tebal dari tiap-tiap jenis lapisan tanah yang dijumpai yang
       dikerjakan dengan tenaga manusia ( hand auger ).

    3. Pengambilan Contoh Tanah
        Pengambilan contoh tanah asli dan penelitian laboratorium sebanyak 35 buah sample pada setiap
        sungai (lokasi).

        Pengambilan contoh tanah asli dimaksudkan untuk mendapatkan nilai-nlai sebagai berikut.
        a. Gradasi butir-butir tanah
        b. Batas-batas alteberg
        c. Berat jenis dan berat volume tanah
        d. Permeability test
        e. Kekuatan dan daya dukung tanah
        f. Harga-harga Ø dan C


C. DAYA DUKUNG

    1. Pengujian Sondir
        Besarnya daya dukung tanah berdasarkan hasil pengujian Sondir dihitung dengan menggunakan
        persamaan Meyerhof (1956) untuk jenis pondasi bujur sangkar atau pondasi memanjang dengan
        Lebar (B) > 1.20 meter, sebagai berikut :


Persamaan Meyerhof





Contoh hasil Sondir









2. Pengujian Contoh Tanah Tak Terganggu
   Untuk pondasi dangkal menerus, daya dukung ultimit dihitung dengan persamaan Terzaghi (1943)

Daya Dukung Ultimit


  











Berdasarkan hasil analisis terhadap daya dukung tanah maka untuk perencanaan fondasi dapat dianjurkan menggunakan jenis fondasi tertentu.
Berikut diberikan contoh jenis fondasi yang dapat direkomendasi untuk digunakan dalam perencanaan :

1. Bagi Struktur dengan beban ringan, dapat digunakan fondasi batu kali atau telapak dari beton              bertulang dengan kedalaman minimal 1.00 m. Besarnya daya dukung tanah yang diijinkan (daya        dukung keseimbangan tanah izin) sehubungan dengan penurunan maksimum 1” (2.5 cm)   dan 
    faktor keamanan 3 untuk masing-masing lokasi ialah sebagai berikut :
    Lokasi Penyelidikan Tanah :
    a.Untuk kedalaman 1.00 ; qa ~ 5,44 ton/m2
    b.Untuk kedalaman 2.00 ; qa ~ 6,74 ton/m2
    c.Untuk kedalaman 3.00 ; qa ~ 5,10 ton/m2

2.  Bagi struktur dengan beban sedang hingga berat, dapat digunakan fondasi tiang dari 
     beton bertulang/tiang pancang dengan kedalaman -17 s/d -26 m MT.
     Besarnya daya dukung tiang untuk masing-masing lokasi dapat diperkirakan sebagai berikut :
      Lokasi Penyelidikan Tanah :
      a.Untuk diameter 30cm ; qa ~ 25 ton
      b.Untuk diameter 40cm ; qa ~ 43 ton
      c.Untuk diameter 50cm ; qa ~ 65 ton


Sehubungan dengan sifat tanah permukaan yang anorganis, maka tidak perlu perhatian khusus dalam kaitannya dengan reaksi kimiawi. Untuk memperkaku hubungan antara bangunan bagian atas dengan bangunan bagian bawah, disarankan untuk merencanakan sloof fundasi minimal 20 x 40 cm.
Sebelum diadakan pekerjaan substruktur, perlu diadakan ”stripping” dan ’Prakompaksi” terlebih dahulu, agar penurunan yang terjadi sekecil-kecilnya.

Demikianlah penjelasan singkat dari penentuan klasifikasi tanah dengan pengujian laboratorium . Semoga bermanfaat dan Terimah kasih.
Baca Artikel...

Rencana Mutu Pekerjaan Konstruksi

Pada kesempatan yang baik ini , saya akan menjelaskan apa itu Rencana Mutu Pekerjaan Konstruksi (RMPK). Para pihak yang bekerja di pekerjaan konstruksi baik itu sebagai kontraktor maupun konsultan supervisi, sebelum memulai pelaksanaan pekerjaan konstruksi harus membuat Rencana Mutu Pekerjaan Konstruksi (RMPK) sebagai pendukung operasional pelaksanaan ketentuan penjaminan mutu dan pengendalian mutu dari pelaksanaan pekerjaan konstruksi. Begitu juga untuk Konsultan Supervisi sebelum melaksananan pengawasan pekerjaan konstruksi harus membuat Program Mutu.


 Rencana Mutu Pekerjaan Konstruksi (RMPK)



Maksud dari Rencana Mutu Pekerjaan Konstruksi (RMPK) sebagai acuan pelaksanaan penjaminan mutu dan pengendalian mutu Pekerjaan Konstruksi bagi pihak-pihak terkait dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi. Selain itu diterbitkannya Rencana Mutu Pekerjaan Konstruksi (RMPK) untuk mendukung terwujudnya tertib penyelengaraan penjaminan mutu dan pengendalian mutu guna tercapai hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas sesuai dengan kebijakan mutu yang ditetapkan.


Kegiatan penjaminan mutu dan pengendalian mutu dimulai sejak penandatanganan kontrak sampai tanggal penyerahan akhir pekerjaan dan terbagi dalam 3 tahapan, yaitu:
1. Tahap Persiapan Pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi;
2. Tahap Pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi; dan
3. Tahap Penyelesaian Pekerjaan Konstruksi.

Para pihak yang terlibat dalam pekerjaan konstruksi harus menerapkan penjaminan mutu dan pengendalian mutu pekerjaan konstruksi dalam setiap tahapan pekerjaan konstruksi sebagai berikut:

A.Tahap Persiapan Pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi:
  1.Penyerahan Lokasi Kerja
  2.Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK)
  3.Rapat Persiapan Pelaksanaan Kontrak
  4.Pembayaran Uang Muka
  5.Mobilisasi.

B.Tahap Pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi
  1.Pemeriksaaan bersama (mutual check / MC-0)
  2.Pengajuan Persyaratan untuk Memulai Kegiatan Setiap Pelaksanaan pekerjaan
  3.Pengawasan Mutu Pekerjaan
  4.Penerimaan dan pembayaran Hasil Pekerjaan
  5.Kontruk Kritis.

C.Tahap Penyelesaian Pekerjaan Konstruksi:
  1.Serah Terima pertama Pekerjaan
  2.Pemeliharan Hasil Pekerjaan
  3.Serah Terima Akhir Pekerjaan
  4.Serah Terima Pekerjaan Selesai Kepada Penyelenggara Infrastruktur di Kementerian Pekerjaan  Umum dan Perumahan Rakyat.


Komponen – komponen yang termasuk di dalam Rencana Mutu Pekerjaan Konstruksi (RMPK) sebagian terdiri atas :
 1. Data umum Pekerjaan Konstruksi
 2. Struktur organisasi pelaksana Pekerjaan Konstruksi
 3. Gambar desain dan Spesifikasi teknis
 4. General flowchart (bagan alir) pekerjaan
 5. Rencana pelaksanaan pekerjaan (method statement)
 6. Prosedur pelaksanaan pekerjaan
 7. Daftar personil
 8. Daftar material
 9. Daftar peralatan
10. Aspek keselamatan Konstruksi
11. Rencana pemeriksaan dan pengujian (Inspection and Test Plan/ ITP)
12. Pengendalian Sub penyediah jasa dan pemasok


FORMAT  RENCANA MUTU PEKERJAAN KONSTRUKSI (RMPK)

Penjelasan untuk Format Rencana Mutu Pekerjaan Konstruksi (RMPK) dibuat dalam bentuk Daftar Isi , sebagai berikut :

BAB 1 DATA UMUM PROYEK
BAB 2 STRUKTUR ORGANISASI PENYEDIA JASA
               2.1. Struktur Organisasi
       2.2.Tugas Dan Tanggung Jawab

BAB 3 JADWAL PELAKSANAAN PEKERJAAN

BAB 4 TAHAPAN PEKERJAAN

BAB 5 GAMBAR DAN SPESIFIKASI TEKNIS
        5.1. Gambar
        5.2. Spesifikasi Teknis

BAB 6 RENCANA PELAKSANAAN PEKERJAAN
       1.1. Metode Kerja Pelaksanaan
       1.2. Tenaga Kerja
       1.3. Material
       1.4. Peralatan
       1.5. Aspek Keselamatan Konstruksi (Analisis Kesehatan dan Keselamatan Kerja/K3)

BAB 7 RENCANA PEMERIKSAAN DAN PENGUJIAN
       7.1.  Tabel Rencana Pemeriksaan dan Pengujian

BAB 8 PENGENDALIAN SUB-PENYEDIA JASA DAN PEMASOK


Penjelasan dari masing-masing Daftar Isi sebagi berikut :

1. BAB 1 – DATA UMUM PROYEK 
Penyediah Jasa menjelaskan tentang : Nama Kegiatan Proyek, Pengguna Anggaran, Nomor Kontrak dan Tanggal Kontrak, Nomor dan Tanggal SPMK, Nilai Kontrak, Jenis kontrak, jangka waktu pelaksanaan, jangka waktu pemeliharaan, Sumber Dana dan Uang Muka.

2. BAB 2 - STRUKTUR ORGANISASI PENYEDIA JASA 
Menjelaskan tentang Struktur organisasi  proyek dengan nama personil beserta jabatannya. Serta tugas dan tanggung jawab setiap personil yang ada didalam struktur organisasi tersebut.

3. BAB 3 -  JADWAL PELAKSANAAN PEKERJAAN
Jadwal Pelaksanaan Pekerjaan dimana kontraktor harus menjelaskan seluruh item pekerjaan yang akan dilaksanakan dan menampilkan jangka waktu pelaksanaan  yang dibutuhkan setiap pekerjaan. Uraian jadwal item pelaksaan pekerjaan dibuat dalam bentuk  Time Schedule.

4. BAB 4 - TAHAPAN PEKERJAAN 
Tahapan pekerjaan dibuat dalam bentuk Flow Chart (bagan alir) pekerjaan.

5. BAB 5 - GAMBAR DAN SPESIFIKASI TEKNIS 
Gambar-gambar DED yang akan digunakan harus dilampirkan dalam pelaksanaan pekerjaan nantinya. Spesifikasi Teknis yang ditampilkan harus sesuai dengan item pekerjaan dalam kontrak yang telah ditandatangani.

6. BAB  6 - RENCANA PELAKSANAAN PEKERJAAN
a.Metode Kerja Pelaksanaan
Metode kerja yang dibuat kontraktor untuk tiap item pekerjaan merupakan suatu rangkaian  pelaksanaan kegiatan konstruksi yang mengikuti prosedur  kerja dan dirancang sesuai dengan standar operation sistem (SOP).

b.Tenaga Kerja
    Tenaga kerja yang terlibat dalam pelaksaan pekerjaan yaitu para personil yang ada dalam struktur organisasi. Uraian personil yang dimaksud yaitu jabatan apa saja yang berhubungan dengan metode pekerjaan tersebut dan jumlah personil tiap jabatannya.

c.Material 
   Kontraktor menjelaskan material yang akan di pakai pada pekerjaan konstruksi dan sudah disetujui oleh pengguna jasa.  Uraian material yang dimaksud ialah penjabaran dari merek materail yang telah disetujui oleh pengguna jasa dan spesifikasi material sesuai dengan yang tertulis dalam kontrak.

d.Peralatan
    Seluruh peralatan yang akan digunakan pada pekerjaan konstruksi harus diuraikan dan disampaikan ke pengguna  jasa, mulai dari alat berat sampai alat paling kecil, nama alat yang dipakai, detail spesifikasi alat (produktifitas dan sumber daya), serta jumlah unit setiap alat tersebut.

e.Aspek Keselamatan Konstruksi (Analisis Kesehatan dan Keselamatan Kerja/K3) :
Uraian analisis K3 yang dijabarkan berdasarkan Identifikasi Bahaya, Penilaian Risiko,
Penetapan Pengendalian Risiko K3 yang ada di RKK untuk tiap-tiap pekerjaan.


7. BAB 7 -  RENCANA PEMERIKSAAN DAN PENGUJIAN 
Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi harus memberikan penjelasan mengenai prosedur dan rencana inspeksi dan pengujian di lapangan untuk memastikan agar mutu produk yang dihasilkan tetap terjaga, mencakup poin-poin sebagai berkut:
1. Kriteria keberterimaan (termasuk toleransi penerimaan);
2. Cara pengujian/pemeriksaan; dan
3. Jadwal pengujian (frekuensi pengujian), dan Penanggung jawab/pelaksana pengujian.
Rencana pelaksanaan ITP harus disesuaikan dengan uraian tahapan pekerjaan yang disampaikan pada poin sebelumnya.

8. BAB 8 - PENGENDALIAN SUB-PENYEDIA JASA DAN PEMASOK 
Penyedia Jasa (kontraktor) pekerjaan Konstruksi harus dapat menunjukan bentuk pengendalian pekerjaan yang dikerjakan pihak ke-3 (Sub Kontraktor dan pemasok) yang menjadi acuan dalam proses pelaksanaan pekerjaan dan hasil produk pekerjaan yang harus dicapai.

Demikianlah penjelasan tentang Rencana Mutu Pekerjaan Konstruksi (RMPK), semoga bermanfaat terimah kasih.
Baca Artikel...

Sistem Klasifikasi Tanah

Definisis Tanah menurut Braja M.Das adalah sebagai material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral-mineral padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia)satu sama lain dan dari bahan-bahan organikyang telah melapuk (yang berpartikel padat) disertai dengan zat cair serta gas yang mengisi ruang-ruang kosong diantara partikel-partikel padat tersebut.

Sistem Klasifikasi Tanah Berdasar Tekstur, Sistem AASHTO dan Sistem UNIFIED



Ada beberapa versi yang menjelaskan sistem klasifikasi tanah dimanan hal ini disebabkan tanah mempunyai sifat-sifat yang bervariasi.

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan khusunya dalam bidang mekanika tanah, ada beberapa metode yang mengklasifikasikan tanah, yaitu :

a. Klasifikasi Tanah Berdasar Tekstur.
b. Klasifikasi Tanah Sistem AASHTO
c. Klasifikasi Tanah Sistem UNIFIED


A. Klasifikasi Tanah Berdasar Tekstur
Pengaruh daripada ukuran tiap-tiap butir tanah yang ada didalam tanah tersebut merupakan pembentuk testur tanah. Tanah tersebut dibagi dalam beberapa kelompok berdasar ukuran butir: pasir (sand), lanau (silt), lempung (clay). Departernen Pertanian AS telah mengembangkan suatu sistem klasifikasi ukuran butir melalui prosentase pasir, lanau dan lempung yang digambar pada grafik segitiga.



Cara ini tidak memperhitungkan sifat plastisitas tanah yang disebabkan adanya kandungan (baik dalam segi jumlah dan jenis) mineral lempung yang terdapat pada tanah. Untuk dapat menafsirkan ciri-ciri suatu tanah perlu memperhatikan jumlah dan jenis mineral lempung yang dikandungnya.


B. Klasifikasi Tanah Sistem AASHTO

Sistem klasifikasi tanah sistem AASHTO pada mulanya dikembangkan pada tahun 1929 sebagai Public Road Administration Classification System. Sistem ini mengklasifikasikan tanah kedalam delapan kelompok, A-1 sampai A-7. Setelah diadakan beberapa kali perbaikan, sistem ini dipakai oleh The American Association of State Highway Officials (AASHTO) dalam tahun 1945. Bagan pengklasifikasian sistem ini dapat dilihat seperti pada Tabel 1 dan tabel 2 di bawah ini.

Klasifikasi Tanah Sistem AASHTO


Klasifikasi Tanah Sistem AASHTO




Pengklasifikasian tanah dilakukan dengan cara memproses dan kiri ke kanan pada bagan tersebut sampai menemukan kelompok pertama yang data pengujian bagi tanah tersebut memenuhinya. Khusus untuk tanah yang mengandung bahan butir halus diidentifikasikan lebih lanjut dengan indeks kelompoknya.


C. Klasifikasi Tanah Sistem UNIFIED

Sistem ini pertama kali diperkenalkan oleh Cassagrande dalam tahun 1942 untuk dipergunakan pada pekerjaan pembuatan lapangan terbang yang dilaksanakan oleh The Army Corps Engineers. Sistem ini telah dipakai dengan sedikit modifikasi oleh U.S. Bureau of Reclamation dan U.S Corps of Engineers dalam tahun 1952. Dan pada tahun 1969 American Society for Testing and Material telah menjadikan sistem ini sebagai prosedur standar guna mengklasifikasikan tanah untuk tujuan rekayasa.


Sistem UNIFIED membagi tanah ke dalam dua kelompok utama:
a. Tanah berbutir kasar adalah tanah yang lebih dan 50% bahannya tertahan pada ayakan No. 200. Tanah butir kasar terbagi atas kerikil dengan simbol G (gravel), dan pasir dengan simbol S (sand).

b. Tanah butir halus adalah tanah yang lebih dan 50% bahannya lewat pada saringan No. 200. Tanah butir halus terbagi atas lanau dengan simbol M (silt), lempung dengan simbol C (clay), serta lanau dan lempung organik dengan simbol O, bergantung pada tanah itu terletak pada grafik plastisitas. Tanda L untuk plastisitas rendah dan tanda H untuk plastisitas tinggi.


Adapun simbol-simbol lain yang digunakan dalam klasifikasi tanah ini adalah :
W = well graded (tanah dengan gradasi baik)
P = poorly graded (tanah dengan gradasi buruk)
L = low plasticity (plastisitas rendah) (LL < 50)
H = high plasticity (plastisitas tinggi) ( LL > 50)

Untuk lebih jelasnya klasifikasi sistem UNIFIED dapat dilihat pada bagan Tabel 1 dan tabel 2 dibawah ini.

Klasifikasi Tanah Sistem UNIFIED


Klasifikasi Tanah Sistem UNIFIED















Demikianlah penjelasan tentang Sistem Klasifikasi Tanah, semoga bermanfaat terimah kasih.
Baca Artikel...